Selasa, 20 November 2012

SURAT UNTUK MANTANKU


Assalamualaikum wr...wb...
Semoga kau sehat dan selalu dalam lindungan-Nya....

Segalanya sudah usai. Apa yang pernah terucap dahulu, kini hanya tinggal sebuah cerita untuk diingat. Aku tak tahu itu sebuah dosa bila tak tertunaikan, atau akan dimaafkan sesuai kondisi dan situasi yang telah terjadi. Pastinya, bukan aku menghendakinya. Aku tak jua mengatakanmu, tapi hanya permintaan alam dan sekitarnyalah yang menjadikan kita bak minyak dengan air.

Hampir setahun aku menjalani hubungan berkasih dan bersayang denganmu. Durasi perjam rasanya ingin kujadikan perdetik, perbulan ingin kujadikan perminggu, sebab aku ingin cepat-cepat mengimamimu. Cerita sudah banyak terangkai, kisah jua sudah berjibun tercipta. Antara aku dan kau adalah kebahagiaan pada saat itu.

Aku tahu, kisah akademik diriku tidak seindah yang kau harapkan dan seberuntung mereka-mereka yang beruntung. Akan tetapi, dulu kau selalu menyemangatiku. Hingga aku berniat kembali untuk menapaki kembali jejak akademik-ku yang tertinggal dahulu. Kulakukan hal itu untukmu, untuk semua orang yang menginginkannya.

Langkahku terhenti, tak mau maju lagi. Bom semangat sudah sirna, dan membisu tanpa adanya pesan yang dapat kujadikan motivasi. Aku tak tahu kenapa, pastinya adalah kebenaran jua bagimu memilih jalan itu. Tak elok, tak layak seorang cerdas dan berilmu pengetahuan berdampingan dengan seorang yang serba keterbatasan. Bukan jua keterbatasan, akan tetapi memang kekurangan. Apa yang akan terjadi pada masa depanmu nanti jika berpapasan denganku? Pasti suram.

Keputusanmu itu adalah kebahagiaan kelak untukmu, mungkin. Tapi, bagiku itu adalah sebuah kekecewaan yang bertahta dalam jiwa dan hati. Kecewaku bukan karena harus berpisah denganmu, bukan karena itu. Aku kecewa sebab ada janjiku belum terlunasi, dan ada banyak kata yang masih belum sempat kusampaikan untuk menjadikanmu seorang berguna.

Kusadari pula kapasitasku. Tak pantas seorang pengangguran menasehati calon Sarjana. Hal itu tak akan kau dengar. Pun kau dengar, hanya bagai telinga kuali, masuk kanan keluar kiri. Entahlah! Semoga saja kau bisa menjadi lebih baik setelah hengkang dari pangkuan hatiku.

Kala kuingat masa-masa bersama kita, semuanya menjadi buram. Sudahlah. Aku tak mau larut dalam cerita sedih ini. Biarlah kau mencari yang terbaik buat dirinya. Manatahu, nanti kau akan menemukan seorang yang bisa membuat dirimu lebih bahagia ketimbang denganku. Kau menemukan seorang yang sukses akademik, sesuai pintamu padaku. Semoga saja kau dapati itu. Amiin.

Cinta tak harus memiliki, sayang tak harus memegang, akan tetapi bagaimana kita mengikhlaskan dan selalu mendoakan agar yang kita sayang menemukan yang terbaik dalam hidupnya. Kukira begitu saja yang harus kulakukan sekarang.

Kesuksesan bukan saja di bangku perkuliahan yang akan kita dapatkan. Banyak orang, maka bermacam pula jalan yang ditentukan Tuhan untuk jalur sukses dalam hidupnya. Mungkin, jalurku bukanlah sesuai pintamu itu. Ingat, aku boleh-boleh saja menyayangimu, aku boleh-boleh saja mencintaimu, tapi satu hal yang perlu kau ingat. Nasehatilah aku kapan saja kau mau, tapi jangan samakan aku dengan siapapun. Sebab aku adalah aku, dan aku mempunyai jalan hidupku sendiri.

Aku jujur karena aku tak mau mengecewakanmu nanti. Padahal, jika kusembunyikan segalanya, kau tak akan pernah tahu itu. Ah, sudahlah. Apapun ceritanya, apapun kisahnya, kau jangan sering-sering makan mie, nanti lambungmu kambuh, dan jangan banyak makan es, nanti hidungmu susah bernafas. Karaokean boleh-boleh saja, ingat waktu saja. Belajar yang rajin dan jangan lupa undang aku di hari kau memakai toga nanti.

Untukmu kukatakan, pokok melinjo itu tak pernah ada di belakang rumahku, tak pernah ada. Hal itu hanya fiksi belaka, apalabila ada nanti, mungkin baru kutanam setelah lepas denganmu, sebagai pengingat kisah cinta kita. Bukak dasar itu, sebenarnya aku malu mengatakannya, demimu semuanya terjadi. Dan terimakasih untuk pertemuan yang menyisakan bayangan pilu padaku itu.
Salam.... dari mantanmu.

Baet, 19 April 2012

Rahmat Kembali Rohadi

NEGERIKU YANG MALANG


Kuceritakan sebuah kisah dari negeriku yang malang. Semua tetua tak lagi mau membahagiakan para warga. Mereka hanya bermanis muka dalam senyuman yang menyampaikan hasrat malapetaka. Tak ada canda, tak ada tawa sebenarnya. Namun kami yang muda mencoba menggubahnya menjadi kisah yang humoris, penuh keceriaan.
Alangkah kurang ajarnya kami, jika terus berkata, berteriak dan memaki mereka. Umur yang separuh bayanya tak mengharamkan agar kami demikian. Elok tutur dari bibir tetua itu keluar. Untuk kita, untuk anak anak kita nanti. Hah, pikirku itu semua hanya goda dan asa pencapaian tahta untuknya.
Semuanya telah bersama kami rasakan sebagai warga kelas bawah. Yang bukan penjilat, bukan mahkotanya, terabaikan dari nasehat mujarab mereka para tetua.  Implementasi pada janji, acapkali sering terlupa. Bukan! Bukan lupa sebenarnya. Ia hanya meragukan pada kami yang muda berkuasa ini.
Negerin kami dibuatnya pecah, bagai butiran kaca jagung. Tapi, itu semua tak sempat terjadi. Karena kami yang muda berkuasa terus memagari langkah strategi yang menusuk itu. Hanya sebahagian kecil warga kami dapat dijadikannya umpan, layaknya alat yang memotori serangan semunya.
Untung sajalah ada beberapa tetua pula berpihak pada yang muda. Jadi, tak sempat terkecoh oleh tipu muslihatnya itu. Sebab, kami sudah tahu, ke mana arah dan tujuan dari kata kata mesra dari tetua itu.
Aku sendiri tak paham dengan mereka. Begitukah cara memajukan negeri? Harus ada konflik yang melahirkan peperangan? Anehnya lagi, pernah kubertatap muka dengan sorang tetua. Kudengar tuturnya, sangat merasuk, membuwai terbang ke angkasa, membawa negeri ke puncak dunia. Pun suatu ketika pula, kudengar berita tentang hal yang sama pula. Berbeda, sangat jauh berbeda dalam cocornya kala denganku.
Ehm,,,
Biarlah begitu. Mungkin jika hasratnya sudah tiba, aku, kami yang muda dan para warga lainnya bisa mengecap sebuah nikmat dari suksesnya. Malam ka julanyoe,,, ase that teuga di kriek, ku eh ile beuh

Tanggul Kenangan, 5 Oktober 2011

BUKIT TINGGI


Sore itu hening kediamanku

Kau datang penuh tatapan

Matamu tajam, serasa mengerdip pun tak rela

Kau sodorkan sehelai kaus berwarna abu-abu

Yang bertuliskan sebuah kota di sumbar

"Bukit Tinggi"

Ya, Bukit Tinggi

KAKAK


Kakak,..
Aku tak tahu apa salahku
Jelas, tak kupahami makna kebisuan ini
Semula biasa saja adanya

Pernah kudengar kata darimu
"Kuharap tidak ada yang berubah"
Nah, sekarang kenapa?
Engkau diam membisu

Andai bertanya tanya itu salahku
Ya, hari ini aku minta maaf

By Kembali Rohadi

LEBARAN


Dalam kurun setahun
kita telah dapat menikmati indahnya hidup
semua anugerah-Nya tertuang pada kita

Besok, hari besar kita umat muslim tiba
pertanda bulan yang penuh berkah telah usai
Maka, mulailah kita dengan lembaran baru

So, hendaknya kita mengisinya dengan semua hal kebaikan
karena belum tahu kita apa yang akan terjadi esoknya
masih dapatkah kita berjumpa lagi bulan Ramadan atau tidak
karena ajal ada di tangan-Nya
tidak bisa dipercepat maupun ditunda
meskipun hanya sedetik saja

Marilah mengawalinya dengan saling maaf memaafkan
agar kita terlahir suci kembali

Saya, Rahmat Rohadi dan Keluarga
Mengucapkan selamat hari Raya Idul Fitri
minal aidhin wal fa idhin
m0h0n maaf lahir dan batinKembali Rohadi

JANJIKU JUA JANJIMU


Pernah kau berjanji padaku
Aku juga berjanji padamu
Sama,...
Janji kita sama

Kelak hari lebaran tiba
Kau ke rumahku, pun aku ke rumahmu
Tapi sekarang hanya mimpi
Mimpiku semalam

Aku tahu,...
Bukan niatmu meninggalkan janji
Tapi takdir-Nya yang sudah dahulu menjemputmu

Sudahlah,..
Jangan kau pikirkan aku
Aku akan mendoakanmu selalu
Kumohon padamu
Maafkanlah aku
Jika aku salah padamu

Putusan Sufla Ulliya


Cemara itu bergoyang rapi mengikuti arah angin. Pasangan kasih duduk mesra di bawah pokoknya. Di tepi kali, kian membungkah cerita cinta, mesra dan tak terlepas duka juga. Aku duduk melentang di sana menanti sebuah keputusan datinya, aku atau dia.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah sms darinya. "Kak, sabar ya" aku tak mengerti dengan makna semua itu. Lalu, kucoba menghubungi, namun gagal dan sampai berulang kali, nomornya tetap tak aktif. Kubiarkan saja, pikirku itu gundah untuk sementara waktu. Sebab dia lagi pulang ke kampung nenek, yang katanya sinyal kurang memuaskan di tempat itu.

Berselang dua jam, sms darinya masuk lagi. Aku masih di tempat semula. “Kak, adx udah nyampek nie di rumah nenek, Kakak pain tuh..?” tanyanya lewat sms. Muka sedikit menampilkan senyum, hati riang, kegundahan senyap sejenak. Sekejab itu pula, semuanya kembali redup. Teringat tentang pembicaraan semalam dan sms-nya yang pertama kali tadi.

Kucoba menghubunginya, kali ini beda dengan tadi. Panggilan ku masuk ke hp-nya dan dia menerimanya. Pembicaraan mulai terlaksana. Aku menanyakan tentang sms itu. Sufla menjawabnya dengan singkat, “Itu untuk yang Kakak tanyakan semalam.” Aku juga tak mengerti dengan kata-katanya itu. Sebab yang aku tanyakan lain, jawabannya lain, begitu pikirku.

Ayahnya mendekati, ia mengakhiri percakapan. Memang Sufla sangat takut pada ayahnya jika telfonan dengan seorang lelaki. Anak yang patuh dan turut pada orang tuanya ini membuat aku semakin sulit untuk melupakannya.

“Kak, semuanya hanya untuk kakak. Adx akan menunggu kakak datang meminta pada ayah kak, tapi semuanya tunggu adik menyelesaikan kuliah dulu kak. Kita serahkan saja pada Allah kak ya?” kata itu masuk berselang 10 menit usai percakapan kami. Ah, sungguh tak kusangka jawaban yang kuharapkan itu mencuat jadi nyata. Aku tak tahu harus mengatakan, atau mengibaratkan bagaimana kebahagaiaanku hari itu.

Aku bergegas pulang, sebab sebentar lagi ada diskusi dengan teman-teman komunitas menulisku. Sampai di rumah aku mandi, berpakaian rapi, tak seperti biasanya. Sebab aku ingat kata-katanya dulu, ayahnya sangat tidak senang melihat lelaki berpakaian tidak rapi. Ya, kucoba saja membiasakan diri dengan tuntutan orang tuanya itu. Sebenarnya bukan mencoba, namun mengulang saja. Dulu, aku memang seorang yang gemar rapi-rapian dan enggan lusuh-lusuhan.

Malamnya Sufla sudah di kediamannya. Kami kembali melakukan percakapan lewat hp. Dia banyak membuatku terkesima dengan sikap dan sifatnya. Walau terlihat pemalu, namun dia berani mengatakan apa yang sebenarnya mesti dikatakan padaku. Segala keputusan ada pada ayahnya, sekarang kami hanya menjalani saja. Begitu ujarnya malam itu padaku, seraya meyakinkan bahwa dia hanya berusaha, dan yang menentukan adalah ayahnya dan Tuhannya.

Meskipun demikian, walau itu dustanya, tipunya, aku percaya sangat padanya, Ya, sebenarnya benar yang dikatakannya itu. Orang tua tentu ingin yang terbaik utuk anaknya. Dan sejak saat itu, aku mulai menanamkan niat, untuk bisa meraih orang tuanya. Dalam penantianku untuknya, akan kusematkan tiap malam namanya dalam syair-syairku. Aku berjanji, akan menciptakan sebuah momen indah saat pesta pernikahan kami nanti, sesuai pintanya. Mungkin saja, peluncuran sebuah buku tentang aku dan dia.

Banda Aceh
Penulis adalah Pegiat KMJ