Selasa, 20 November 2012

Putusan Sufla Ulliya


Cemara itu bergoyang rapi mengikuti arah angin. Pasangan kasih duduk mesra di bawah pokoknya. Di tepi kali, kian membungkah cerita cinta, mesra dan tak terlepas duka juga. Aku duduk melentang di sana menanti sebuah keputusan datinya, aku atau dia.

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah sms darinya. "Kak, sabar ya" aku tak mengerti dengan makna semua itu. Lalu, kucoba menghubungi, namun gagal dan sampai berulang kali, nomornya tetap tak aktif. Kubiarkan saja, pikirku itu gundah untuk sementara waktu. Sebab dia lagi pulang ke kampung nenek, yang katanya sinyal kurang memuaskan di tempat itu.

Berselang dua jam, sms darinya masuk lagi. Aku masih di tempat semula. “Kak, adx udah nyampek nie di rumah nenek, Kakak pain tuh..?” tanyanya lewat sms. Muka sedikit menampilkan senyum, hati riang, kegundahan senyap sejenak. Sekejab itu pula, semuanya kembali redup. Teringat tentang pembicaraan semalam dan sms-nya yang pertama kali tadi.

Kucoba menghubunginya, kali ini beda dengan tadi. Panggilan ku masuk ke hp-nya dan dia menerimanya. Pembicaraan mulai terlaksana. Aku menanyakan tentang sms itu. Sufla menjawabnya dengan singkat, “Itu untuk yang Kakak tanyakan semalam.” Aku juga tak mengerti dengan kata-katanya itu. Sebab yang aku tanyakan lain, jawabannya lain, begitu pikirku.

Ayahnya mendekati, ia mengakhiri percakapan. Memang Sufla sangat takut pada ayahnya jika telfonan dengan seorang lelaki. Anak yang patuh dan turut pada orang tuanya ini membuat aku semakin sulit untuk melupakannya.

“Kak, semuanya hanya untuk kakak. Adx akan menunggu kakak datang meminta pada ayah kak, tapi semuanya tunggu adik menyelesaikan kuliah dulu kak. Kita serahkan saja pada Allah kak ya?” kata itu masuk berselang 10 menit usai percakapan kami. Ah, sungguh tak kusangka jawaban yang kuharapkan itu mencuat jadi nyata. Aku tak tahu harus mengatakan, atau mengibaratkan bagaimana kebahagaiaanku hari itu.

Aku bergegas pulang, sebab sebentar lagi ada diskusi dengan teman-teman komunitas menulisku. Sampai di rumah aku mandi, berpakaian rapi, tak seperti biasanya. Sebab aku ingat kata-katanya dulu, ayahnya sangat tidak senang melihat lelaki berpakaian tidak rapi. Ya, kucoba saja membiasakan diri dengan tuntutan orang tuanya itu. Sebenarnya bukan mencoba, namun mengulang saja. Dulu, aku memang seorang yang gemar rapi-rapian dan enggan lusuh-lusuhan.

Malamnya Sufla sudah di kediamannya. Kami kembali melakukan percakapan lewat hp. Dia banyak membuatku terkesima dengan sikap dan sifatnya. Walau terlihat pemalu, namun dia berani mengatakan apa yang sebenarnya mesti dikatakan padaku. Segala keputusan ada pada ayahnya, sekarang kami hanya menjalani saja. Begitu ujarnya malam itu padaku, seraya meyakinkan bahwa dia hanya berusaha, dan yang menentukan adalah ayahnya dan Tuhannya.

Meskipun demikian, walau itu dustanya, tipunya, aku percaya sangat padanya, Ya, sebenarnya benar yang dikatakannya itu. Orang tua tentu ingin yang terbaik utuk anaknya. Dan sejak saat itu, aku mulai menanamkan niat, untuk bisa meraih orang tuanya. Dalam penantianku untuknya, akan kusematkan tiap malam namanya dalam syair-syairku. Aku berjanji, akan menciptakan sebuah momen indah saat pesta pernikahan kami nanti, sesuai pintanya. Mungkin saja, peluncuran sebuah buku tentang aku dan dia.

Banda Aceh
Penulis adalah Pegiat KMJ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post