Selasa, 20 November 2012

Belum Berjudul

“Biarlah waktu menjadi saksi dan memberi bukti keteguhan hati. Untuk mimpi-mimpiku yang menanti. Walau hanya dalam kurun waktu seujung denyut nadi. Biarlah, biarlah telinga bosan mendengarnya, biarlah mata muak membacanya, dan biarlah jari lelah menulisnya. Tapi, hatiku tetap akan mencarinya sampai mati. Aku tak akan pernah jemu meniliknya dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, dan kota ke kota. Dan hanya ajal yang akan mematikan langkahku, pun batu nisan yang akan menjadi ijazah terakhirku.” Semburan kata dari kekasihku mengingat perkuliahannya yang tinggal seujung jari lagi.

Masa studinya tinggal sedikit lagi tersisa, namun ia tetap semangat menjalaninya. Aku tahu hatinya memang sedang galau, tapi ia mencoba menutupi itu padaku. Kekasihku itu cuma berpura pura tegar padaku, aku tahu itu.
Dia mengakui kesalahan dan kelalaiannya di masa lalu. Sering kali ia menyepelekan perkuliahan, ia lebih mengutamakan bermain bersama perempuan yang menjadi pacarnya di masa itu. Pun juga ada satu hal yang ia tak bisa tinggalkan, yaitu berorganisasi. Sekarang, kekasihku itu menyesali semua kehilafannya. Namun apalah yang hendak di kata, nasi pun sudah menjadi bubur.

Sisa studinya yang tinggal dua semester lagi membuat ia galau dan balau. Kenapa tidak, ia harus menyelesaikan perkuliahnya dalam masa-masa itu. Jika dia tak sanggup, maka dia akan dihadiahkan DO oleh kampusnya itu. Meskipun begitu, aku tetap mencintainya dan selalu mengalirkan doaku untuknya agar ia bisa melewati masa masa itu dengan mudah dan lapang tanpa kendala. 

Aku ingin mengusir rinduku padanya, mengunci hasrat dalam riang berjuta terang. Aku hanya berharap mimpi mimpi bersamanya datang menjalang menemani sepiku hingga hilang. Membuang candu pada bayang, kucampak bersama permainan di hari petang. Kemudian kutantang hari dengan tiada sepi lagi. Sedikit rindu pun sempat terobati dengan mimpi dan permainan. Bukan, rindu dan candu itu tak bisa sirna. Sesaat saja mungkin bisa, seketika itu pula ia akan merebah lagi dalam diri. 

Sebenarnya aku tidak berniat melupakannya, atau mengurangi rasa rinduku ini. Akan tetapi, aku tak bisa memanjakan perasaan ini hingga dia tahu. Aku tak mau, aku takut dia seperti dulu, dan aku tak mau itu terjadi lagi. Aku mencintainya, dan aku berusaha dalam doaku agar ia bisa menjalani sisa sisa studinya yang tinggal seujung kuku itu. Sebab aku yakin kekasihku itu bisa, dan dia pasti bisa.

Semangatnya kini berkobar tinggi untuk menggapai asa dan citanya yang tertinggal. Ketika gairah dan ambisinya menyala, orangtuanya tahu akan tingkahnya dulu. Huft, aku tak membayangkan bagaimana perasaan calon mertuaku itu. Kecewa, ya kata itu tepat kuberikan untuk suasana hati orangtua kekasihku itu. Oleh karena dari itu, Ayahnya marah dan Ibunya sakit mendengar berita itu. Galau dan balau bercampur-baur tak tentu rasa lagi dalam hati kekasihku yang nun jauh di seberang sana.

Bertepatan tak lama lagi pesta ulang tahunku akan dirayakan. Ia meminta agar aku memberi izin dirinya untuk hadir di acara itu. Aku sebenarnya mau, bahkan sangat mau. Namun, aku berpikir pula pada dirinya. Jika kuizinkan hal itu, berapa waktunya akan tersisa. Sementara masa studinya secuil lagi. Kuputuskan bahwa dia tak bisa datang ke pestaku. Kukatakan padanya, “Kak nanti saja, jika libur tanglah ke rumah. Kita akan buat pesta berdua dan keluarga Adek.” Ujarku menenangkan hatinya.

Memang aku mengatahui dia sedikit kecewa dengan keputusanku itu. Akan tetapi, aku terlalu takut dia menderita lagi. Aku takut Ayahnya yang mau memberikan kesempatan ke dua itu akan kecewa lagi, dan Ibunya yang baru saja pulih akan sakit kembali. Aku menginginkan dirinya, juga keluarganya sebagai bagian dari hidupku.

Rahmat Kembali Rohadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post